Pemerintah telah memutuskan mengurangi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) per 3 September 2022 lalu. Imbasnya ada penyesuaian harga harga BBM bersubsidi.
Meski demikian, kenaikan harganya dinilai masih berdampak positif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
“Kenaikan harga BBM masih berdampak positif terhadap kenaikan PDB, meskipun tidak terlalu signifikan,” ungkap Peneliti bidang Ekonomi Makro dan Perdagangan Internasional, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Iwan Hermawan, pada acara Sapa Media, secara daring, Senin (3/10/2022).
Kesimpulan ini diperoleh setelah ia dan tim melakukan analisis menggunakan model pendekatan keseimbangan umum (Model RDCGE).
Ada lima skenario simulasi yang dibuat, untuk memastikan dampak kenaikan harga BBM.
Skenario pertama, urai Iwan, jika memang ada kenaikan harga BBM bersubsidi seperti saat ini. Kemudian skenario kedua, kalau ada kenaikan harga BBM bersubsidi, ditambah dengan harga bahan-bahan pokok juga naik. Skenario ketiga adalah jika kondisi pada skenario pertama dan kedua, ditambah dengan adanya bansos.
Kemudian skenario keempat, ditambah lagi kalau ada realokasi anggaran dari pemerintah ke sektor-sektor supply, seperti transportasi dan logistik.
“Skenario terakhir, jika skenario keempat, tetapi ada sektor kunci, yaitu sektor pangan, yang kita harap juga bisa memberikan insight kira-kira dampaknya seperti apa, karena pangan ini terkait dengan kenaikan bahan pokok yang penting tadi,” terang Iwan.
Dari simulasi tersebut, lanjut Iwan, baik dengan simulasi satu hingga lima, menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM masih menaikkan PDB walaupun relatif kecil. Prosentase perubahan yang didapat sebesar 0,0007 persen pada simulasi satu, 0,0066 persen pada simulasi dua, 0,0067 persen pada simulasi tiga, 0,8397 persen pada simulasi empat, dan 1,1551 persen pada simulasi lima.
Meski demikian, jelas Iwan, kenaikan harga BBM meningkatkan laju inflasi dan menurunkan konsumsi agregat.
Sektor Migas Membaik, Sektor Transportasi Melemah
Selain dampak secara makroekonomi, simulasi ini juga melihat dampak ke sektoral. Menurut Iwan, sektor-sektor berteknologi tinggi dan migas memperoleh keuntungan (better off) dari dampak kenaikan harga BBM. Sebaliknya, sektor jasa transportasi dan manufaktur pengolahan mengalami penurunan produksi (worse off).
“Terhadap penyerapan tenaga kerja, ini kurang lebih in line, dimana kenaikan harga BBM subsidi akan menyebabkan better off di sektor-sektor yang berteknologi tinggi dan kilang migas, dan yang mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja ada di sektor jasa transportasi dan beberapa sektor manufaktur,” tambahnya.
Analisis ini juga melihat bahwa kenaikan harga BBM berdampak pada penurunan tingkat kesejahteraan rumah tangga, khususnya rumah tangga di perdesaan.
Selain itu, kenaikan harga BBM berdampak secara beragam terhadap perubahan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Provinsi Kaltim, Jabar, Sumsel, Riau, dan Jambi dinilai mendapatkan keuntungan dari dampak kenaikan harga BBM.
“Kelima provinsi ini yang menikmati benefit-nya. Jadi PDRB mereka mengalami peningkatan, dan kita bisa melihat mereka memiliki keseragaman kurang lebih sebagai daerah penghasil migas dan perkebunan,” tutur Iwan.
Dirinya juga berpendapat, kenaikan harga BBM yang diikuti dengan bansos akan berdampak positif relatif lebih tinggi terhadap PDB dibandingkan tanpa melakukannya. Di sisi lain, kondisi makroekonomi tersebut berdampak pada level rumah tangga, di mana tingkat kesejahteraannya cenderung masih menurun.
“Kondisi ini merefleksikan kemungkinan indeks bansos yang berlaku belum sepenuhnya mengompensasi inflasi akibat kenaikan harga BBM. Oleh sebab itu, pemberian bansos perlu disesuaikan indeks atau besarannya, dengan didukung data penerima bantuan yang valid dan sistem pengawasan penyaluran yang ketat,” pungkas Iwan.